Home » Article » Fenomena Bisnis Es Teh yang Merajalela, Apa Masih Relevan?

Fenomena Bisnis Es Teh yang Merajalela, Apa Masih Relevan?

Bisnis Es Teh yang Merajalela, Apa Masih Relevan?

Bisnis es teh telah lama jadi primadona. Di berbagai sudut kota, dari pusat perbelanjaan hingga pinggir jalan, outlet es teh menjamur bak cendawan di musim hujan. Para pemuda, selebritas, hingga pengusaha mapan ikut terjun. Tapi, di balik ramainya pasar ini, muncul pertanyaan besar: Apakah bisnis es teh masih relevan untuk ditekuni hari ini?

Fenomena ini bukan muncul tanpa alasan. Es teh adalah minuman yang murah, menyegarkan, dan bisa dinikmati siapa saja. Tidak heran jika kemudian banyak brand lokal bermunculan dan viral di media sosial. Es teh bukan sekadar minuman pelepas dahaga—ia telah menjelma menjadi lifestyle.

Namun, di balik tren ini, ada dinamika pasar yang menarik untuk diulas. Persaingan makin ketat, tren cepat berubah, dan konsumen semakin cerdas. Apakah bisnis ini masih memiliki masa depan yang jelas? Atau, hanya sekadar FOMO sesaat yang bakal pudar?

Sejarah Bisnis Es Teh di Indonesia

Dulu, es teh hanyalah pendamping sederhana di warung atau angkringan. Namun sejak akhir 2018, fenomena bisnis es teh mulai “meledak”. Kesadaran konsumen berubah—dari sekadar meneguk, menjadi pengalaman gaya hidup kekinian.

Kebangkitan Brand Lokal Kekinian

  • Es Teh Indonesia resmi lahir tahun 2018. Dalam waktu singkat, mereka berhasil membuka sekitar 300 gerai pada Agustus 2021, dan kini menargetkan 1.000–1.030 outlet di seluruh nusantara. Model bisnisnya viral lewat sosial media, terutama video TikTok yang berhasil menarik lebih dari 3 juta penonton.Omzet tiap outlet rata-rata Rp4–5 juta per hari, atau Rp100–150 juta per bulan—menawarkan margin bersih sekitar 20 %. Dengan strategi franchise paket lengkap, mereka merekrut banyak mitra pengusaha dan menghimpun omzet hingga Rp25–37 miliar per bulan.
  • Es Teh Nusantara, berdiri sejak 2021, melesat cepat: kini sudah punya 2.000 gerai di skala nasional. Mereka menawarkan cita rasa lokal otentik untuk menjangkau berbagai segmen konsumen.
  • Brand warisan seperti Teh Poci, Teh Kocok, dan Tong Tji sejak lama juga punya fondasi kuat—terutama sebagai simbol “teh tradisional” yang terus hidup, apalagi saat muncul varian kekinian seperti es teh jumbo ala Solo.

Variasi Produk & Strategi Brand Experience

Muncul Teh Kota, Teh Desa, Best Tea ,Teh Warga, hingga Thai Tea stalls di mal dan pinggir jalan. Para pelaku ini berlomba menghadirkan variasi rasa seperti teh susu, lemon, leci, avocado. Teknologi umpan balik konsumen dan uji rasa dilakukan rutin.

Es Teh Indonesia menyuguhkan lebih dari 20–22 varian rasa, lengkap dengan topping kekinian—semua dibanderol antara Rp 5.000–22.000. Praktik ini didukung adanya ‘kebun teh’ bisnis sendiri—sekitar 867 kebun tersebar di dalam (552) dan luar Jawa (315) per Februari 2023.

Jalur Viral dan Franchise

Kesuksesan mereka tak lepas dari strategi viral marketing lewat TikTok dan Instagram. Es Teh Indonesia misalnya rajin membuat konten relate yang mengundang FOMO—terselip humor, cerita founder, bahkan event bazaar.

Model franchise paket all-in menjadi andalan: Calon mitra cukup menyiapkan biaya Rp 30 juta – Rp 135 juta untuk lisensi dan peralatan, dan total investasi mencapai Rp 200–250 juta sudah termasuk renovasi.

Dari Teh Tradisional ke Kolektif Kekinian

Sejarah panjang teh di Indonesia bermula dari Sariwangi (1973), Tong Tji, dan Sosro—minuman siap saji seperti Teh Botol Sosro yang jadi favorit sejuta umat. Namun, adaptasi modern memberi nafas baru: Es teh siap saji kini diracik dalam model gaya hidup urban, estetika Instagramable, dan nilai branding yang lebih tinggi.

Secara keseluruhan, perjalanan bisnis es teh di Indonesia menunjukkan transformasi dari produk komoditas menjadi brand eksistensial. Dari warung sederhana hingga merek bernilai miliaran, semuanya butuh strategi, inovasi, dan keberanian mengambil peluang.

Baca juga: Belajar Marketing 3.0 dari Aqua, Top of Mind Air Mineral

Bisnis Es Teh yang Merajalela, Apa Masih Relevan (1)

Daya Tarik Utama Bisnis Es Teh

Bisnis es teh bukan sekadar tren sesaat. Ia tumbuh menjadi ladang usaha yang menggoda, terutama bagi pemula dan investor muda. Di balik segelas es teh, tersimpan potensi bisnis yang menggiurkan. Banyak yang tergoda, karena model bisnisnya yang fleksibel dan potensi pasarnya yang luas. Apa saja daya tarik utamanya?

1. Modal Terjangkau

Untuk memulai bisnis es teh, modal awalnya cukup ringan. Banyak paket franchise yang ditawarkan mulai dari Rp8 juta hingga Rp30 juta. Biaya produksi per gelas es teh berkisar antara Rp2.000 hingga Rp4.000, sementara harga jual bisa mencapai Rp10.000–Rp18.000 per gelas.

Dengan angka seperti itu, balik modal bukan mimpi jauh. Bahkan, dalam kasus tertentu, pengusaha bisa balik modal dalam waktu 3 hingga 5 bulan. Tak heran bila banyak yang tertarik mencoba. Modal kecil, tapi potensi laba tinggi—itulah daya tarik utamanya.

2. Target Pasar Luas

Teh adalah minuman universal. Hampir semua kalangan menikmatinya, dari pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran, hingga orang tua. Menurut data dari Global Tea Market Outlook 2024, konsumsi teh di Indonesia meningkat rata-rata 8% per tahun sejak 2015.

Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, pasar teh di Indonesia tergolong sangat besar. Di kota-kota besar, tren es teh modern menjadi bagian dari gaya hidup. Sedangkan di daerah, es teh tetap eksis sebagai minuman favorit sehari-hari. Ini yang membuat bisnis ini terasa “aman” dari segi target market.

3. Viral Marketing

Bisnis es teh sangat cocok dipasarkan secara digital. Di TikTok, hashtag #esteh sudah ditonton lebih dari 200 juta kali. Brand-brand seperti Es Teh Indonesia dan Teh Kocok rutin membuat konten viral yang menarik perhatian anak muda.

Visual minuman yang menggoda, kemasan lucu, dan storytelling yang kuat menjadi senjata utama. Ditambah lagi, tren FOMO (Fear of Missing Out) membuat konsumen berlomba-lomba mencoba produk baru. Sekali viral, penjualan bisa melonjak hingga ribuan gelas per hari.

4. Franchise-friendly

Banyak brand es teh kini membuka sistem kemitraan. Mereka menawarkan paket lengkap: booth, perlengkapan, pelatihan, hingga bahan baku. Contohnya, Teh Kota menawarkan paket franchise mulai Rp9 juta. Teh Poci punya lebih dari 5.000 mitra aktif di seluruh Indonesia.

Model bisnis seperti ini sangat menarik bagi pemula. Tidak perlu repot membangun brand dari nol. Calon mitra cukup memilih brand, menyiapkan tempat, dan menjalankan operasional harian. Bahkan, beberapa brand sudah menyediakan sistem manajemen dan laporan keuangan otomatis.

Kombinasi keempat faktor di atas menjadikan bisnis es teh sebagai opsi yang sangat menarik. Baik untuk pemain baru maupun pelaku bisnis berpengalaman, segelas es teh bisa menjadi awal dari perjalanan bisnis yang menjanjikan.

Tantangan Besar di Balik Bisnis Es Teh

Di balik potensi besar bisnis es teh, ada tantangan besar yang sering luput dari perhatian. Tidak semua pebisnis mampu bertahan di tengah gelombang kompetisi dan ekspektasi konsumen yang tinggi. Banyak gerai yang tampak ramai di awal, tapi meredup hanya dalam hitungan bulan.

1. Banyak Kompetitor

Salah satu faktor utama adalah persaingan yang sangat ketat. Data dari Kementerian Perdagangan tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 12.000 gerai minuman teh modern di seluruh Indonesia. Dari angka tersebut, lebih dari 40% berada di Pulau Jawa. Ini menciptakan kondisi pasar yang sangat padat dan rawan kejenuhan.

2. Konsumen yang Selektif

Kedua, konsumen pun semakin selektif. Mereka tidak hanya mencari rasa, tapi juga pengalaman. Brand yang gagal berinovasi akan cepat ditinggalkan. Bahkan, laporan dari Nielsen pada akhir 2023 mencatat bahwa 1 dari 5 bisnis minuman teh tutup dalam 12 bulan pertama karena gagal menciptakan produk yang relevan.

3. Konsisten pada Kualitas

Kualitas konsisten menjadi tantangan lain. Banyak pemilik usaha yang kesulitan menjaga rasa dan standar pelayanan di semua cabang. Ini jadi penyebab utama kekecewaan pelanggan dan turunnya loyalitas. Dalam survei konsumen oleh Jakpat tahun 2024, sebanyak 34% responden menyebutkan bahwa ketidakkonsistenan rasa adalah alasan utama mereka berhenti membeli dari brand tertentu.

4. Biaya Operasional

Selain itu, beban biaya operasional juga menjadi ancaman nyata. Harga sewa lokasi di kota besar terus meningkat. Di Jakarta, rata-rata sewa ruko per bulan bisa mencapai Rp15–25 juta, belum termasuk biaya listrik, gaji karyawan, dan bahan baku. Tekanan ini membuat margin keuntungan menipis.

Semua tantangan ini menunjukkan bahwa bisnis es teh membutuhkan strategi matang, pengelolaan profesional, dan kemampuan adaptasi yang tinggi. Tanpa itu, bisnis yang semula menjanjikan bisa berubah jadi beban finansial.

Baca juga: 5 Jurus Jitu Branding Produk

Strategi Agar Bisnis ini Tetap Relevan

Bisnis es teh kini tidak bisa lagi hanya mengandalkan tren. Persaingan makin rapat, konsumen makin cerdas. Jika ingin tetap eksis dan relevan, brand harus punya strategi yang kuat dan fleksibel. Berikut beberapa strategi penting yang bisa dijalankan:

1. Inovasi Menu

Konsumen haus akan hal baru. Maka dari itu, varian rasa harus terus dikembangkan. Tambahkan teh herbal, kombinasi dengan buah asli, topping keju, boba rendah kalori, atau es teh tanpa gula.

Data dari FMCG Trends Asia 2024 menunjukkan bahwa 67% konsumen muda lebih tertarik mencoba minuman dengan klaim “sehat” atau “unik.” Artinya, semakin kreatif inovasi, semakin tinggi peluang menarik perhatian. Brand seperti Teh Desa misalnya, sudah mulai menghadirkan varian teh rempah yang lebih sehat.

Jangan takut eksperimen. Bahkan, varian musiman seperti “teh rasa lebaran” atau “teh rasa ramadhan” bisa viral jika dikemas dengan baik.

2. Optimalkan Digital Marketing

Di era serba digital, eksistensi brand ditentukan oleh kontennya. Bangun persona yang kuat di media sosial. Buat konten yang relate, lucu, dan shareable. Gunakan micro-influencer untuk menjangkau komunitas kecil, tapi loyal.

Menurut survei We Are Social 2024, pengguna media sosial aktif di Indonesia mencapai 191 juta orang. Dan 89% pengguna TikTok menyukai konten review makanan dan minuman. Artinya, pasar digital sangat potensial.

Kampanye kreatif seperti “Tebak Rasa“, giveaway interaktif, atau cerita lucu tentang pelanggan bisa meningkatkan engagement. Gunakan fitur-fitur seperti live TikTok atau Instagram Story Poll untuk terhubung langsung dengan audiens.

3. Jaga Kualitas dan Konsistensi

Tidak ada yang lebih mengecewakan dari rasa minuman yang berubah-ubah. Konsistensi adalah kunci loyalitas. Gunakan SOP yang jelas untuk setiap proses: mulai dari penyeduhan, pencampuran topping, hingga penyajian.

Brand seperti Teh Poci dan Es Teh Indonesia menerapkan quality control ketat. Mereka rutin mengadakan pelatihan ulang untuk staf dan audit rasa antar cabang. Hal ini penting, karena menurut Jakpat Survey 2024, 41% pelanggan akan berhenti membeli jika rasa produk tidak konsisten dalam 3 kali pembelian.

4. Ekspansi Bertahap

Pertumbuhan cepat bukan berarti buka cabang di mana-mana. Justru, ekspansi bertahap lebih menjanjikan. Mulailah dari satu kota, dominasi pasar, lalu baru ke kota berikutnya. Ini penting untuk menjaga kualitas dan pengawasan.

Dalam laporan Startup Lokal 2024, disebutkan bahwa 73% bisnis yang membuka lebih dari 3 cabang dalam tahun pertama justru mengalami kesulitan operasional. Pelajaran dari brand besar: tumbuh pelan tapi pasti.

5. Bangun Komunitas Pelanggan

Pelanggan bukan hanya pembeli, tapi juga aset. Bangun komunitas loyal. Buat sistem membership, promo khusus, program referensi, atau event offline seperti meet-up pelanggan.

Es Teh Indonesia pernah mengadakan kompetisi desain cup minuman dari komunitas konsumennya. Hasilnya? Engagement tinggi dan rasa memiliki dari pelanggan.

Dalam studi HubSpot 2024, pelanggan yang merasa terlibat dengan brand punya potensi beli ulang 70% lebih tinggi daripada yang tidak terlibat. Maka, bangun hubungan, bukan sekadar transaksi.

Baca juga: 10 Strategi Marketing/Pemasaran Produk yang Efektif

Bisnis Es Teh yang Merajalela, Apa Masih Relevan (2)

Analisis Keuntungan vs Risiko

Di balik peluang yang tampak manis, bisnis es teh menyimpan dinamika yang kompleks. Tak hanya soal potensi cuan, tapi juga soal ketahanan menghadapi realitas pasar yang keras.

Bagian ini penting untuk calon pengusaha atau investor yang ingin menilai: Apakah bisnis ini benar-benar menguntungkan, atau justru jebakan manis yang bisa menguras modal?

Keuntungan:

  • ROI cepat. Jika dikelola secara profesional, pengembalian modal bisa diraih dalam 3–6 bulan.
  • Bisnis mudah dipelajari. Proses produksi simpel, bisa diduplikasi, dan tidak butuh teknologi rumit.
  • Potensi viral tinggi. Produk mudah “dijual” secara visual, apalagi jika dikemas estetik dan menarik di media sosial.

Risiko:

  • Brand awareness lemah. Terlalu banyak pemain membuat konsumen sulit membedakan merek. Tanpa diferensiasi, gerai akan tenggelam.
  • Perang harga. Kompetitor yang banyak memicu banting harga. Margin pun makin tipis.
  • SDM kurang terlatih. Pelayanan buruk dan rasa tak konsisten akan cepat membuat pelanggan berpaling.

Singkatnya, bisnis ini ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi mesin uang yang menggiurkan jika dijalankan dengan strategi kuat dan eksekusi presisi. Akan tetapi, bisa juga berubah jadi lubang kerugian jika dilakukan asal-asalan.

Pebisnis yang hanya ikut-ikutan tren tanpa strategi akan cepat tumbang. Beda halnya bagi mereka yang serius membangun sistem, brand, dan koneksi emosional dengan pelanggan, peluangnya masih sangat terbuka lebar.

Apakah Bisnis Es Teh Masih Relevan?

Pertanyaan ini sering muncul di tengah ramainya tren bisnis minuman. Apakah es teh yang dulu jadi bintang masih layak dipertahankan sebagai ladang cuan? Jawabannya tetap sama: ya. Tapi, jawabannya datang dengan catatan penting: tidak semudah dulu.

Dulu, cukup buka gerai dan posting di Instagram. Sekarang, harus berpikir lebih dalam. Harus ada diferensiasi. Harus ada alasan mengapa orang memilih brand kamu dibanding yang lain. Era mudahnya: Viral sudah lewat. Konsumen sekarang lebih kritis, lebih pintar membandingkan harga, rasa, dan pengalaman.

Bisnis es teh masih punya tempat di hati konsumen Indonesia. Tapi, hanya mereka yang kreatif, adaptif, dan tahan banting yang akan bertahan. Sekadar ikut-ikutan akan cepat tenggelam. Brand harus unik, punya cerita, dan mampu menanamkan kesan yang melekat.

Di sisi lain, bisnis es teh adalah batu uji. Ia tampak sederhana, tapi mengandung tantangan kompleks. Dari manajemen SDM, efisiensi produksi, marketing, hingga pelayanan pelanggan—semua diuji. Banyak pemilik brand yang justru belajar banyak hal krusial dari sini.

Fenomena ini belum selesai. Hanya saja, medan permainannya berubah. Tidak semua bisa sukses, tapi peluang tetap terbuka. Bagi yang mampu membaca arah angin, menyusun strategi, dan konsisten, es teh masih bisa jadi kendaraan menuju kesuksesan yang lebih besar.

Nah, setelah membaca ulasannya, sekarang bagaimana menurutmu? Apakah kamu masih melihat peluang dari bisnis es teh ini? Atau, justru sudah saatnya beralih ke segmen lain? Yuk, tulis pendapatmu di kolom komentar dan mari berdiksusi bersama!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top